Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2020

Berkeriau Sendiri

Singkat cerita, bukan salah embun untuk membulat dengan banyak bulatan dimuka daun, seraya berucap selamat pagi. Seperti sikapmu yang abahui, yang ditarik ke arah tertentu supaya rebah. Dari timur, sangat bersemangat untuk bertemu. Mengajak untuk bergegas Bahagia Bersama. Rencana pagi yang membahagiakan, sebelum bertemu perundung rasa yang sudah dihindari terlalu lama. Saya berpikir, sudah umur dua puluh lima tahun. Bahan obrolan yang menjatuhkan masih saja menjadi guyonan yang khas. Jika dibalas nada aka meninggi, tanda kalah. Tetapi sebagai lelaki dia takut untuk terlihat tidak kuat. Pernah bilang bahwa akan menjadi berwibawa jika bisa memurungkan jiwa Bahagia supaya terlihat adikuasa. Bagaimana bisa menjadi kuat tetapi cara berpikirnya masih primitif. Aram temaram seperti waktu itu. Berantem di tenda kemah. Tanpa berkeriau (berteriak memkik) kupegang bahunya kutahan sekuat tenaga. Berani karena ramai, sendiri bak ayam sayur. Tanpa melewati senja yang menyenangkan, waktu berjal...

Terlampaui

Mengikuti arus dengan sedikit air menyentuh bebatuan. Seperti mengingat pesan yang selalu mendera dikala pagi tiba. Perjuangan tidak selalu berakhir sesuai keinginan kita. Tepat pukul empat belas lebih lima belas menit. Pesan ini menggangu pikiranku. Ternyata dia hari itu mempertahankan tugas akhirnya. Kupaksakan untuk menemui kala matahari sedikit lagi akan tenggelam. Kecang sekali aku melaju dengan motor tuaku. Pukul lima aku berpikir, apakah dengan tangan kosong menemui sesosok kelinci manis tanpa gula ini. Seikat bunga warna hijau, merah dan mawar putih. Begitu keras jantungku berdetak. Ini hal luar biasa setelah terlalu lama tidak berkesempatan. Aspal hitam dan senja menjadi saksi, ternyata teman tetaplah teman. Seperti kamu ingin merubah awan menjadi kuning, hal yang mustahil. Beban berat dan rasa penasaran sudah terkikis. Saat memulai hal yang baru. Tanpa kelinci manis yang sangat menyentuh hati kala tersenyum. Tidak bisa dipaksankan bahwa benar, mahkluk Tuhan dapat memili...

Memuram Lumus

Suatu waktu berjalan begitu lambat dan melambat. Kanan dan kiri sengaja memandangi. Apa yang salah dari seorang lumus ini. Tidak, aku hanya menuduh diri. Tidak selumus ini. Bukan getah yang melengket seperti cempedak. Adhesif sekali dipikiranku. Sudah sampai titik yang berbeda ku berjalan. Senja manis itu memudar tanpa pembubaran bak barisan prajurit. Mulai teringat sedikit, apa yang sebenarnya terjadi. Ini tentang ketidakmampuan. Ya benar, ketidakmampuan untuk menjaga hati. Mereka melihatku, tajam tanpa ampun. Ternyata adalah teman dia yang remuk redam. Seketika ku ingat semua. Begitu jelas dan berwarna. Pilihan adalah kuncinya, kecewa dan bahagia dari dua sisi yang berbeda rasa. pesan pukul enam belas waktu itu, membuat sampai saat ini berbeda. Dia memuram dan kecewa, karena kecewa yang didera secara sengaja. begitu lumusnya diriku. Begitu manis bibirnya, indah coklat korneanya. Takut untuk kembali dengan perasaan awal. Sekarang menjelma menjadi wanita dewasa yang bahagia. Mun...